Social Icons

Minggu, 11 Maret 2012

Sekilas sejarah musik UNDERGROUND

Sekilah sejarah Musik Underground di Indonesia:

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia. 

DI BANDUNG sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya.


MUSIK underground sering dianggap musik yang bernuansa kekerasan. Itu karena tema-tema musiknya yang kerap mengusung tentang kematian, siksaan, neraka, kehidupan setelah kematian, kritik, protes, dan kecaman.


Terlebih dengan kejadian di Gedung AACC Bandung, konser musik undergriund yang berujung maut, semakin mengentalkan citra negatif.
Padahal sebetulnya tak ada hubungan musik underground dengan kekerasan, apalagi menjadi penyebab tragedi maut di Gedung AACC.
Lagu bagaimana sebetulnya perjalanan musik yang dinilai radikal ekstrem karena lirik-lirinya yang memang jauh dari kesan indah ini?
“Underground tumbuh di Indonesia pada awal-awal era 90-an. Dulu, aliran ini identik dengan anak-anak urakan,” kata Ken-Ken, mantan vokalis grup band underground di Jakarta, Minggu (10/2).


Awal-awal tumbuh di kalangan anak-anak urakan itu membuat underground dikenal sebagai aliran ekstrem. Predikat itu semakin kental ketika sejumlah konser underground waktu itu kerap melahirkan kericuhan. Ken-Ken mengatakan, biasanya dalam konser musik underground muncul subgender yang mempunyai massa pendukung dan subgender yang lainnya juga massa pendukung.
“Yang dari punk punya pendukung sendiri, yang dari metal juga punya sendiri. Awalnya hanya ejek-ejekan, kemudian ribut di dalam. Hal seperti itu kerap terjadi, terutama di kota-kota kecil,” lanjut pria kelahiran Surabaya ini.


Meski Kenken mengatakan kericuhan memang ada dalam sejarah konser musik underground, vokalis musik Sing Ken-ken ini menyebut, tidak pernah ada yang separah seperti terjadi di Bandung Sabtu (9/2) malam. Apalagi, kata dia, para peminat underground sekarang ini sudah lebih dewasa, lebih cerdas dalam menyalurkan idealisme musik mereka.
“Aku nggak pernah mencatat kericuhan yang pernah terjadi. Tapi, nggak pernah separah ini,,” sambung Ken-ken yang mengaku meski sudah tidak aktif, tapi masih kerap nongol di konser underground.
Penyanyi jazz yang juga kerap hadir dalam konser musik underground, Syaharani


juga menyebut, dibanding era 90-an, pemusik underground sekarang jauh lebih matang. Rani, panggilannya, mengaku tidak sepakat dengan label radikal ekstrem yang diberikan kepada para pemusik underground. Ia mengatakan, sekarang, peminat underground tingkat pendidikan dan tingkat apresiasi musiknya sudah lain.
“Mereka memang punya idealisme sendiri dan mereka ingin membuktikan bahwa idealisme mereka tidak kalah juga dengan industri musik. Dan menurut saya itu perkembangan cara berpikir dan cara berbisnis anak-anak muda. Mereka ingin punya assosiate sendiri. Ada banyak hal positif kok pada komunitas underground ini,” kata Rani.


Syaharani tidak mau menyebut peristiwa nahas di Bandung distimuli oleh aliran musik keras yang diusung oleh grup Beside yang beraliran punk. Ia lebih senang membahas prosedur pengamanan sebuah konser. Sebab, kata dia, tidak ada bedanya orang-orang yang underground dan bukan underground, mereka sama-sama manusia.


“Tidak ada masalah, apa jenis musiknya karena valuenya manusia sama lho. Namanya musibah bisa datang tanpa pilih-pilih jenis aliran musik. Penyelenggara harus benar-benar memperhatikan masalah-masalah keamanan. Kalau yang di Bandung ini kan masalah di luar content art nya” kata Rani yang mengaku gandrung dengan musik underground sejak 2001 .(persda network/had)


source : tribunjabar.co.id
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Amazon Instrument

Sample Text