Sebenarnya ini bukan sebuah hal yang baik
untuk memulai hari Senin, ketika lagi lagi sebuah berita di koran
terkenal Jakarta yaitu The Jakarta post membuat saya tertegun, terhenyak
dan kemudian marah marah. Namun musti bagaimana lagi bereaksi, ketika
kebodohan demi kebodohan terus saja dilancarkan untuk menyerang praktek
kehidupan bertoleransi dan berdemokrasi.
Jika membaca terhadap pernyataan Farid
Budi Fahri, yang konon seorang anggota senior FPI, serta seorang pakar
musik Islam, yang menuduhkan bahwa musik underground beserta segenap
variannya membawa misi zionisme, maka saya kemudian dengan tegas menolak
dan balik mempertanyakan pengetahuan kesejarahan musik dan budaya dari
saudara Fahri itu sendiri.
Underground memang lahir sebagai sebuah
bentuk budaya tandingan. Namun kita harus memahami secara historis dan
secara kontekstual akan budaya tandingan itu sendiri. Musik punk yang
lahir di Inggris, disana memang harus terlahirkan sebagai sebuah bentuk
tandingan terhadap sistem monarki yang menghegemoni sendi sendi
kehidupan rakyat Inggris. Ketika ia menyebar ke seluruh dunia, ia tidak
diserap secara mentah mentah, namun juga beradaptasi dengan kultur
kultur lokal setempat. Di Amerika, ia menjelma menjadi hardcore, budaya
tanding terhadap fasisme, rasialisme, diskriminasi serta kebijakan
politik dan ekonomi bernama New World Order.
Demikian pula dengan musik Thrash Metal.
Musik ini adalah sebuah bentuk kemarahan terhadap sistem sosial ala
Barat, serta sebagai sebuah bentuk terapi psikologis terhadap segenap
individu yang tidak akan pernah bisa fit didalam sistem sosial tersebut.
Kita bisa menyimak hal tersebut dari lirik liriknya. Dan ini adalah
fakta kesejarahan yang ada.
Black Sabbath lahir di sebuah kota penuh
pabrik di Inggris yaitu Birmingham. Tentu saja lirik liriknya banyak
terpengaruh kepada kemarahan kaum pekerja disana. Jika Ozzy Osbourne
kemudian membawa bawa peti mati keatas panggung, maka itu adalah sebuah
simbol kemarahan Black Sabbath terhadap sistem sosial pada saat itu.
METALLICA, MEGADETH, ANTHRAX, dll lahir
di Amerika. Bisa kita lihat bahwa kultur dan sistem sosial disana sudah
sangat dekaden, sehingga melahirkan sebuah tandingan bernama Thrash
Metal. Lirik lirik yang ada tidak dengan serta merta menyerang, namun
lebih kepada memberikan sebuah terapi psikologis terhadap segenap
metalhead yang memang tidak akan pernah bisa fit dalam sistem sosial
tersebut. Bahkan juga beberapa lagu dari dari kaum Thrash Metal Amerika
itu sendiri sebenarnya sangat anti perang, sebagai contoh sebaiknya
silakan disimak ‘Holy War’ dari MEGADETH.
Lalu jika kita lebih melihat kepada
permasalahan pencitraan yang terjadi dalam musik Metal, itu sendiri
sebenarnya adalah sebuah ironi. Karena Metal sejak awal ia memposisikan
diri sebagai anak haram peradaban Barat. Tengkorak, monster, binatang
liar, serta segenap imaji rusak yang dibangun oleh kaum metalhead yang
bisa kita lihat dalam citra IRON MAIDEN,METALLICA, SEPULTURA dll itu adalah sebuah cermin rusak dari peradaban Barat itu sendiri.
Lalu jika dituduhkan bahwa Metal membawa
pesan pesan bersifat Satanic, maka sebaiknya saudara Fahri Budi yang
konon seorang pakar musik ini lebih menilik dari kesejarahan atribut
Metal dan juga kesejarahan penyebaran musik Metal. Simbol tiga jari
dalam musik Metal dipopulerkan oleh Ronnie James Dio, seorang musisi
metal era awal. Simbol itu dalam budaya orang Italia dan orang Latin
adalah sebuah cara kuno untuk mengusir setan dan roh roh halus. Singkat
kata, simbol itu adalah simbol tolak bala. Ia kemudian menjadi simbol
dalam musik Metal sebagai sebuah bentuk citra ironis terhadap sistem
sosial itu sendiri.
Lalu jika menilik dari varian yang
dibangun oleh musik Metal hingga ia disebut Satanisme, maka kita harus
menilik kepada sejarah penyebaran musik Metal di Skandinavia yaitu
Swedia, Norwegia, dll dan juga kepada konteks kultural dalam kehidupan
Skandinavia itu sendiri. Swedia dan Norwegia adalah negara yang menjadi
kampung halaman nobel perdamaian. Negara negara ini juga seringkali
menjadi cermin keberhasilan budaya dan peradaban Barat.
Namun ironisnya, disaat yang bersamaan
diskriminasi juga terjadi dengan sangat keras disini. Diskriminasi ini
terjadi dalam sebuah sistem sosial yang dikeluarkan oleh kebijakan
kebijakan ala ajaran Nasrani. Disinilah musik Metal menemukan bentuk
tandingannya, sehingga memunculkan varian bernama Death Metal, Black
Metal dan Gothic Metal. Mereka memadu padankan musik Metal dengan budaya
tradisional Skandinavia yaitu Viking sebagai tandingan terhadap
diskriminasi sosial tersebut.
Dan jika kita melihat penghancuran simbol
simbol religius Nasrani dalam musik metal tersebut, maka itu adalah
sebuah bentuk performance yang merepresentasikan terhadap diskriminasi
yang dilakukan melalui kebijakan kebijakan ala Nasrani disana.
Saya sendiri menolak dengan keras jika
kemudian diisukan bahwa musik musik underground membawa pesan pesan
Zionisme dan kemudian semua orang menyukainya tanpa menyadarinya.
Sebagai sebuah fakta, di Indonesia sendiri banyak kaum underground,
entah itu punk, hardcore ataupun metal yang menolak terhadap Zionisme.
Bahkan dalam dokumenter Global Metal yang disampaikan oleh Sam Dunn, Ombat personil band TENGKORAK sendiri
menyatakan bahwa ia anti Zionisme. Lagipula, contoh yang disampaikan
oleh saudara Fahri yang seorang anggota senior FPI ini adalah lagu lagu
dari John Lennon, yang notabene adalah seorang hippies dan bukan seorang
pencetus atau pengikut gerakan underground. Sehingga hipotesa yang
dilakukannya serasa tidak masuk akal dan jauh panggang dari api.
Lalu apa maksud yang disampaikan FPI?
Jika saya mencoba menyimak, maka hal itu ada pada kalimat dimana musik
underground menjauhkan anak muda dari nilai nilai keislaman.
Saya memberi contoh Kimung, eks personil band metalcore BURGERKILL.
Ia adalah seorang pemeluk islam dan juga seorang metalhead. Saya
menyimaknya melalui beberapa tulisannya. Semasa kecil dan remaja ia
memahami banyak ajaran Islam, dan kemudian selera musik metalnya
mengajarkan sikap anti fasis dan anti diskriminasi.
Titik potong terhadap kedua hal tersebut
adalah saat ia menterjemahkan sendiri keyakinannya dalam sebuah sikap
yang anti terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk religi dan
cenderung toleran terhadap segenap perbedaan yang ada. Apakah disini
underground menjauhkannya dari ajaran Islam … bisa saya jawab tidak !
Lagipula contoh mengenai Kimung bukan sebuah hal baru di Indonesia,
karena saya juga mengenal banyak sosok underground yang disatu sisi juga
masih meyakini ajaran agamanya.
Bagi saya sebuah produk budaya, apapun
itu bentuknya akan selalu hidup dalam segenap hati para pengikutnya.
Katakanlah marawis, kasidah, dll yang merupakan produk budaya Islam,
apakah sekarang ia mati dan dilupakan jaman. Tidak, karena masih banyak
orang yang juga melestarikan produk budaya ini. Sehingga sekalipun jaman
telah berubah sedemikian drastis, dan satu bentuk budaya telah berganti
budaya baru, namun tetap ada kaum kaum yang akan melestarikan produk
produk budaya lama tersebut. Dan atas dasar inilah, maka saya lihat
tendensi FPI dalam statement mereka di The Jakarta post adalah sebuah
bentuk sikap insecure semata. Insekuritas yang jangan jangan dimasa
depan bisa dipraktekkan dengan cara cara kekerasan dan fasisme. Gebuk,
bacok dan sikat semua yang berbeda !
Indonesia bukan negara Islam sekalipun
pemeluk agama terbanyak adalah Islam. Namun sekalipun suatu saat
Indonesia menjelma menjadi negara teokrasi Islam dan demokrasi ditindas
dengan fasisme religius, saya tetap meyakini bahwa musik underground
mulai dari punk, hardcore, metal, dll akan tetap hidup di hati dan
sanubari mereka yang mengimaninya. Ambil contoh saja Acrassicauda, band
heavy metal asal Irak. Sekalipun kepala mereka diburu oleh kaum
fundamentalis Islam baik dari Sunni maupun Syiah, namun selamanya mereka
tetap menjadi seorang metalhead asal Baghdad. Seseorang tidak akan
pernah bisa memaksakan nilai nilai tertentu untuk diyakini oleh orang
lain, karena mereka sendiri pun memiliki nilai nilai tertentu yang
mereka yakini dan merupakan yang terbaik yang dibentuk dari kehidupan
mereka sendiri.
Agama adalah sebuah jalan humanisme,
namun jika ia dipaksakan untuk menindas nilai nilai yang diyakini oleh
orang lain, maka apa bedanya agama dengan Zionisme … dan ini adalah
sebuah pertanyaan balik saya untuk saudara Fahri Budi yang konon pakar
musik dan anggota senior FPI ini.
Tulisan : Andreij Eijkov
Source : http://karonkeren.multiply.com/journal/item/614/
Source : http://karonkeren.multiply.com/journal/item/614/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar