Social Icons

Minggu, 11 Maret 2012

Underground Bukan Zionisme

Sebenarnya ini bukan sebuah hal yang baik untuk memulai hari Senin, ketika lagi lagi sebuah berita di koran terkenal Jakarta yaitu The Jakarta post membuat saya tertegun, terhenyak dan kemudian marah marah. Namun musti bagaimana lagi bereaksi, ketika kebodohan demi kebodohan terus saja dilancarkan untuk menyerang praktek kehidupan bertoleransi dan berdemokrasi.
Jika membaca terhadap pernyataan Farid Budi Fahri, yang konon seorang anggota senior FPI, serta seorang pakar musik Islam, yang menuduhkan bahwa musik underground beserta segenap variannya membawa misi zionisme, maka saya kemudian dengan tegas menolak dan balik mempertanyakan pengetahuan kesejarahan musik dan budaya dari saudara Fahri itu sendiri.
Underground memang lahir sebagai sebuah bentuk budaya tandingan. Namun kita harus memahami secara historis dan secara kontekstual akan budaya tandingan itu sendiri. Musik punk yang lahir di Inggris, disana memang harus terlahirkan sebagai sebuah bentuk tandingan terhadap sistem monarki yang menghegemoni sendi sendi kehidupan rakyat Inggris. Ketika ia menyebar ke seluruh dunia, ia tidak diserap secara mentah mentah, namun juga beradaptasi dengan kultur kultur lokal setempat. Di Amerika, ia menjelma menjadi hardcore, budaya tanding terhadap fasisme, rasialisme, diskriminasi serta kebijakan politik dan ekonomi bernama New World Order.
Demikian pula dengan musik Thrash Metal. Musik ini adalah sebuah bentuk kemarahan terhadap sistem sosial ala Barat, serta sebagai sebuah bentuk terapi psikologis terhadap segenap individu yang tidak akan pernah bisa fit didalam sistem sosial tersebut. Kita bisa menyimak hal tersebut dari lirik liriknya. Dan ini adalah fakta kesejarahan yang ada.
Black Sabbath lahir di sebuah kota penuh pabrik di Inggris yaitu Birmingham. Tentu saja lirik liriknya banyak terpengaruh kepada kemarahan kaum pekerja disana. Jika Ozzy Osbourne kemudian membawa bawa peti mati keatas panggung, maka itu adalah sebuah simbol kemarahan Black Sabbath terhadap sistem sosial pada saat itu.
METALLICA, MEGADETH, ANTHRAX, dll lahir di Amerika. Bisa kita lihat bahwa kultur dan sistem sosial disana sudah sangat dekaden, sehingga melahirkan sebuah tandingan bernama Thrash Metal. Lirik lirik yang ada tidak dengan serta merta menyerang, namun lebih kepada memberikan sebuah terapi psikologis terhadap segenap metalhead yang memang tidak akan pernah bisa fit dalam sistem sosial tersebut. Bahkan juga beberapa lagu dari dari kaum Thrash Metal Amerika itu sendiri sebenarnya sangat anti perang, sebagai contoh sebaiknya silakan disimak ‘Holy War’ dari MEGADETH.
Lalu jika kita lebih melihat kepada permasalahan pencitraan yang terjadi dalam musik Metal, itu sendiri sebenarnya adalah sebuah ironi. Karena Metal sejak awal ia memposisikan diri sebagai anak haram peradaban Barat. Tengkorak, monster, binatang liar, serta segenap imaji rusak yang dibangun oleh kaum metalhead yang bisa kita lihat dalam citra IRON MAIDEN,METALLICASEPULTURA dll itu adalah sebuah cermin rusak dari peradaban Barat itu sendiri.
Lalu jika dituduhkan bahwa Metal membawa pesan pesan bersifat Satanic, maka sebaiknya saudara Fahri Budi yang konon seorang pakar musik ini lebih menilik dari kesejarahan atribut Metal dan juga kesejarahan penyebaran musik Metal. Simbol tiga jari dalam musik Metal dipopulerkan oleh Ronnie James Dio, seorang musisi metal era awal. Simbol itu dalam budaya orang Italia dan orang Latin adalah sebuah cara kuno untuk mengusir setan dan roh roh halus. Singkat kata, simbol itu adalah simbol tolak bala. Ia kemudian menjadi simbol dalam musik Metal sebagai sebuah bentuk citra ironis terhadap sistem sosial itu sendiri.
Lalu jika menilik dari varian yang dibangun oleh musik Metal hingga ia disebut Satanisme, maka kita harus menilik kepada sejarah penyebaran musik Metal di Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dll dan juga kepada konteks kultural dalam kehidupan Skandinavia itu sendiri. Swedia dan Norwegia adalah negara yang menjadi kampung halaman nobel perdamaian. Negara negara ini juga seringkali menjadi cermin keberhasilan budaya dan peradaban Barat.
Namun ironisnya, disaat yang bersamaan diskriminasi juga terjadi dengan sangat keras disini. Diskriminasi ini terjadi dalam sebuah sistem sosial yang dikeluarkan oleh kebijakan kebijakan ala ajaran Nasrani. Disinilah musik Metal menemukan bentuk tandingannya, sehingga memunculkan varian bernama Death Metal, Black Metal dan Gothic Metal. Mereka memadu padankan musik Metal dengan budaya tradisional Skandinavia yaitu Viking sebagai tandingan terhadap diskriminasi sosial tersebut.
Dan jika kita melihat penghancuran simbol simbol religius Nasrani dalam musik metal tersebut, maka itu adalah sebuah bentuk performance yang merepresentasikan terhadap diskriminasi yang dilakukan melalui kebijakan kebijakan ala Nasrani disana.
Saya sendiri menolak dengan keras jika kemudian diisukan bahwa musik musik underground membawa pesan pesan Zionisme dan kemudian semua orang menyukainya tanpa menyadarinya. Sebagai sebuah fakta, di Indonesia sendiri banyak kaum underground, entah itu punk, hardcore ataupun metal yang menolak terhadap Zionisme.
Bahkan dalam dokumenter Global Metal yang disampaikan oleh Sam Dunn, Ombat personil band TENGKORAK sendiri menyatakan bahwa ia anti Zionisme. Lagipula, contoh yang disampaikan oleh saudara Fahri yang seorang anggota senior FPI ini adalah lagu lagu dari John Lennon, yang notabene adalah seorang hippies dan bukan seorang pencetus atau pengikut gerakan underground. Sehingga hipotesa yang dilakukannya serasa tidak masuk akal dan jauh panggang dari api.
Lalu apa maksud yang disampaikan FPI? Jika saya mencoba menyimak, maka hal itu ada pada kalimat dimana musik underground menjauhkan anak muda dari nilai nilai keislaman.
Saya memberi contoh Kimung, eks personil band metalcore BURGERKILL. Ia adalah seorang pemeluk islam dan juga seorang metalhead. Saya menyimaknya melalui beberapa tulisannya. Semasa kecil dan remaja ia memahami banyak ajaran Islam, dan kemudian selera musik metalnya mengajarkan sikap anti fasis dan anti diskriminasi.
Titik potong terhadap kedua hal tersebut adalah saat ia menterjemahkan sendiri keyakinannya dalam sebuah sikap yang anti terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk religi dan cenderung toleran terhadap segenap perbedaan yang ada. Apakah disini underground menjauhkannya dari ajaran Islam … bisa saya jawab tidak ! Lagipula contoh mengenai Kimung bukan sebuah hal baru di Indonesia, karena saya juga mengenal banyak sosok underground yang disatu sisi juga masih meyakini ajaran agamanya.
Bagi saya sebuah produk budaya, apapun itu bentuknya akan selalu hidup dalam segenap hati para pengikutnya. Katakanlah marawis, kasidah, dll yang merupakan produk budaya Islam, apakah sekarang ia mati dan dilupakan jaman. Tidak, karena masih banyak orang yang juga melestarikan produk budaya ini. Sehingga sekalipun jaman telah berubah sedemikian drastis, dan satu bentuk budaya telah berganti budaya baru, namun tetap ada kaum kaum yang akan melestarikan produk produk budaya lama tersebut. Dan atas dasar inilah, maka saya lihat tendensi FPI dalam statement mereka di The Jakarta post adalah sebuah bentuk sikap insecure semata. Insekuritas yang jangan jangan dimasa depan bisa dipraktekkan dengan cara cara kekerasan dan fasisme. Gebuk, bacok dan sikat semua yang berbeda !
Indonesia bukan negara Islam sekalipun pemeluk agama terbanyak adalah Islam. Namun sekalipun suatu saat Indonesia menjelma menjadi negara teokrasi Islam dan demokrasi ditindas dengan fasisme religius, saya tetap meyakini bahwa musik underground mulai dari punk, hardcore, metal, dll akan tetap hidup di hati dan sanubari mereka yang mengimaninya. Ambil contoh saja Acrassicauda, band heavy metal asal Irak. Sekalipun kepala mereka diburu oleh kaum fundamentalis Islam baik dari Sunni maupun Syiah, namun selamanya mereka tetap menjadi seorang metalhead asal Baghdad. Seseorang tidak akan pernah bisa memaksakan nilai nilai tertentu untuk diyakini oleh orang lain, karena mereka sendiri pun memiliki nilai nilai tertentu yang mereka yakini dan merupakan yang terbaik yang dibentuk dari kehidupan mereka sendiri.
Agama adalah sebuah jalan humanisme, namun jika ia dipaksakan untuk menindas nilai nilai yang diyakini oleh orang lain, maka apa bedanya agama dengan Zionisme … dan ini adalah sebuah pertanyaan balik saya untuk saudara Fahri Budi yang konon pakar musik dan anggota senior FPI ini.
Tulisan : Andreij Eijkov
Source : http://karonkeren.multiply.com/journal/item/614/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Amazon Instrument

Sample Text