Social Icons

Minggu, 11 Maret 2012

Sekilas sejarah musik UNDERGROUND

Sekilah sejarah Musik Underground di Indonesia:

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia. 

DI BANDUNG sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya.


MUSIK underground sering dianggap musik yang bernuansa kekerasan. Itu karena tema-tema musiknya yang kerap mengusung tentang kematian, siksaan, neraka, kehidupan setelah kematian, kritik, protes, dan kecaman.


Terlebih dengan kejadian di Gedung AACC Bandung, konser musik undergriund yang berujung maut, semakin mengentalkan citra negatif.
Padahal sebetulnya tak ada hubungan musik underground dengan kekerasan, apalagi menjadi penyebab tragedi maut di Gedung AACC.
Lagu bagaimana sebetulnya perjalanan musik yang dinilai radikal ekstrem karena lirik-lirinya yang memang jauh dari kesan indah ini?
“Underground tumbuh di Indonesia pada awal-awal era 90-an. Dulu, aliran ini identik dengan anak-anak urakan,” kata Ken-Ken, mantan vokalis grup band underground di Jakarta, Minggu (10/2).


Awal-awal tumbuh di kalangan anak-anak urakan itu membuat underground dikenal sebagai aliran ekstrem. Predikat itu semakin kental ketika sejumlah konser underground waktu itu kerap melahirkan kericuhan. Ken-Ken mengatakan, biasanya dalam konser musik underground muncul subgender yang mempunyai massa pendukung dan subgender yang lainnya juga massa pendukung.
“Yang dari punk punya pendukung sendiri, yang dari metal juga punya sendiri. Awalnya hanya ejek-ejekan, kemudian ribut di dalam. Hal seperti itu kerap terjadi, terutama di kota-kota kecil,” lanjut pria kelahiran Surabaya ini.


Meski Kenken mengatakan kericuhan memang ada dalam sejarah konser musik underground, vokalis musik Sing Ken-ken ini menyebut, tidak pernah ada yang separah seperti terjadi di Bandung Sabtu (9/2) malam. Apalagi, kata dia, para peminat underground sekarang ini sudah lebih dewasa, lebih cerdas dalam menyalurkan idealisme musik mereka.
“Aku nggak pernah mencatat kericuhan yang pernah terjadi. Tapi, nggak pernah separah ini,,” sambung Ken-ken yang mengaku meski sudah tidak aktif, tapi masih kerap nongol di konser underground.
Penyanyi jazz yang juga kerap hadir dalam konser musik underground, Syaharani


juga menyebut, dibanding era 90-an, pemusik underground sekarang jauh lebih matang. Rani, panggilannya, mengaku tidak sepakat dengan label radikal ekstrem yang diberikan kepada para pemusik underground. Ia mengatakan, sekarang, peminat underground tingkat pendidikan dan tingkat apresiasi musiknya sudah lain.
“Mereka memang punya idealisme sendiri dan mereka ingin membuktikan bahwa idealisme mereka tidak kalah juga dengan industri musik. Dan menurut saya itu perkembangan cara berpikir dan cara berbisnis anak-anak muda. Mereka ingin punya assosiate sendiri. Ada banyak hal positif kok pada komunitas underground ini,” kata Rani.


Syaharani tidak mau menyebut peristiwa nahas di Bandung distimuli oleh aliran musik keras yang diusung oleh grup Beside yang beraliran punk. Ia lebih senang membahas prosedur pengamanan sebuah konser. Sebab, kata dia, tidak ada bedanya orang-orang yang underground dan bukan underground, mereka sama-sama manusia.


“Tidak ada masalah, apa jenis musiknya karena valuenya manusia sama lho. Namanya musibah bisa datang tanpa pilih-pilih jenis aliran musik. Penyelenggara harus benar-benar memperhatikan masalah-masalah keamanan. Kalau yang di Bandung ini kan masalah di luar content art nya” kata Rani yang mengaku gandrung dengan musik underground sejak 2001 .(persda network/had)


source : tribunjabar.co.id
 

 

Ketika Ratusan Undergrounders Guncang Taman Budaya Kolaborasi Musik Cadas, Tampilkan Budaya Lokal

Suasana halaman Taman Budaya Minggu (9/8), mendadak di dominasi warna hitam. Ratusan undergrounders (sebutan bagi pecinta musik underground) memenuhi halaman Taman Budaya. Tampil dengan dandanan hitam kelam, anak-anak muda ini terlihat garang.

Di dalam gedung, suara distorsi gitar dan iringan gebukan drum yang menghentak tak kalah sangar terdengar meraung dari kejauhan. Sementara di bagian depan gedung, ratusan remaja, pria dan wanita tampak antre untuk masuk ke dalam ruangan.

Alasannya jelas. Mereka tak cuma ingin menyaksikan penampilan band-band underground lokal yang tampil, melainkan juga ingin menonton aksi panggung 2 band underground papan atas Tanah Air, yakni Siksa Kubur dan Morbiddys.

Hingar bingar musik bawah tanah ini memang sudah terasa sejak Sabtu (8/8) lalu. Pasalnya, acara bertajuk Art Exhibition and Samarinda Death Festival ini menampilkan sejumlah aliran musik underground. Sebut saja seperti hard core, metal core, metal, grind core, black metal dan dead metal.

Saat 2 band yang menjadi guest star acara ini tampil, ratusan undergrounders mulai memadati bibir panggung. Musik yang dibawakan kedua band itu, tak hanya membuat mereka melakukan head banger (joget ala underground dengan gerakan memutar-mutarkan kepala sambil menunduk mengibaskan rambut) Tapi juga melakukan pogo/slam dance (gerak badan dengan saling mengadu badan membenturkan tubuh untuk menikmati irama musik) hingga moshing/stage diving (melompat dari panggung dan para penonton lain harus menangkapnya)

Maklum, cara seperti ini merupakan bagian dari cara undergrounders mengapresiasi band idola mereka saat tampil di atas pentas.

Yang menarik, di sela pertunjukkan band-band cadas itu, anak-anak muda ini juga menampilkan budaya lokal. Kerajinan tangan warga Sungai Bawang, Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar) dipamerkan di sepanjang pintu masuk acara.

Beberapa kerajinan seperti taplak meja sudut, gendongan bayi, taplak meja dan sarung bantal, tas, hingga anjat. Kesemuanya terbuat dari manik-manik. Ukurannya pun bervariasi. Tak cuma itu, sebanyak 35 foto dari fotografer independen Kota Tepian juga turut ditampilkan. Tema yang diangkat bermacam-macam. Mulai dari masalah sosial, budaya Dayak, hingga keindahan alam Kaltim.

Bagi Supriadi, ketua panitia Art Exhibition and Samarinda Death Festival, kolaborasi antara musik cadas ala underground dan budaya lokal dalam satu acara dimaksudkan untuk mengajak para remaja Kota Tepian membudidayakan khasanah budaya sendiri. Pasalnya, arus globalisasi yang semakin deras membuat sebagian besar gnerasi muda melupakan nilai-nilai budaya lokal. “Tapi ini juga sekaligus cara kami melawan segala bentuk globalisasi. Coba lihat, pameran foto seperti ini saja misalnya. Biasanya kan cuma di tempat-tempat mewah. Seperti mal dan hotel. Kalau teman-teman dari komunitas punk, underground dan lainnya, pasti ogah datang ke tempat begituan,” katanya.

Selain itu, Riski (20), salah seorang undergrounders mengatakan, acara seperti ini memang baru pertama kali di Samarinda. Meski menggunakan label sponsor, Riski mengatakan cukup mengapresiasi usaha rekan-rekannya sesama pencinta musik bawah tanah. “Biar kami suka musik underground yang berlatar belakang budaya Barat, tapi kami juga nggak mau melupakan kebudayaan sendiri. Toh budaya kita lebih kaya dari negara lain,” katanya.

Sementara undergrounders lainnya, Thirda Helga (18) mengatakan parade band underground dan pameran budaya ini cukup jarang dilaksanakan Maklum, selain lantaran musik yang dibawakan cukup memekakkan telinga, image negatif yang melekat pada komunitas ini juga menimbulkan preseden buruk di mata sebagian besar warga. Karena hal itu, beberapa band underground Samarinda dikatakannya terpaksa gigit jari lantaran kerap dilarang pentas disegala panggung acara.

"Kami sering dilarang tampil dalam acara-acara band. Mungkin karena aliran musik kami yang keras dan penampilan kami yang berbeda,” ujar gadis pencinta musik underground ini.

Komunitas underground Samarinda memang sempat menggeliat dan mencuat di awal 2000 hingga 2002. Di tahun itu, penampilan band-band underground Kota Tepian dapat dijumpai di setiap parade yang digelar. Lambat laun, komunitas underground yang didominasi kalangan remaja ini meredup seiring derasnya arus perubahan genre musik.

Meski demikian, sebagian besar pecinta musik underground mengaku menggemari musik cadas ini bukan lantaran trend semata. Selain mendapatkan kebebasan berekspresi, prinsip independensi dan idealisme dalam bermusik dalam dicurahkan lewat lirik-lirik yang mereka bawakan.

Bagi yang lain, musik bawah tanah seperti ini merupakan wujud perlawanan mereka terhadap industri musik Indonesia saat ini. Menurut mereka, industri sekarang ini lebih mengutamakan bisnis, sehingga dikemas secara komersil dan harus mengikuti kemauan produser.  Sehingga bagi mereka, hal ini membuat para musisi tidak bebas. (*/fr)

“Underground”: Suatu Komunitas Termajinalkan

Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa komunitas underground selalu menjadi suatu momok yang menakutkan untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, padahal masyarakat hanya mengetahui sebagian kecil tentang komunitas tersebut. Ironisnya pengetahuan yang kecil tersebut ternyata tentang hal-hal negatif dan dianggap sesuatu yang melenceng dari norma serta tatanan hidup dalam masyarakat. Mungkin dikarenakan pemahaman yang sedikit inilah yang membuat komunitas-komunitas underground selalu menjadi suatu phobia di tengah-tengah masyarakat.
Memang umumnya komunitas tersebut selalu berkumpul di emperan toko dan selalu bergerombol, namun mereka mempunyai alasan yang cukup kuat yang menyebabkan mereka seperti itu, serta mereka memilih jalur bawah tanah untuk melakukan pergerakan mereka dan tidak ingin menjadi komunitas yang formal.
Tapi tak bisa dipungkiri di balik kebaikan mereka, komunitas underground pun mempunyai side effect yang tidak baik pula. Sebagian komunitas, seperti skinhead, punk street, atau Hardcore mempunyai budaya yang negatif serta sedikit menyimpang dari norma-norma yang telah tertanam di masyarakat sehingga menyebabkan bertambahlah paranoa terhadap meraka di masyarakat.
Untuk memperbaiki citra komunitas yang mempunyai niat baik, maka saya mengangkat tema dualisme komunitas underground. Setidaknya untuk menambah sedikit pengetahuan kita tentang pergerakan bawah tanah yang berkembang di kota-kota besar. Namun tidak semua komunitas akan saya ketengahkan mungkin hanya beberapa komunitas yang saya rasa cukup menonjol dalam memperbaiki atau memperburuk citra komunitas termaginalkan tersebut.
Gambaran Umum Komunitas Underground
Komunitas underground merupakan suatu komunitas yang melakukan pergerakan secara diam-diam atau tidak diketahui banyak orang. Mereka menyebut gerakan tersebut dengan UR (Underground Resistance) dan tidak memilih jalur formal untuk mendirikan suatu perkumpulan.
Alasan mereka tidak mau menjadi suatu komunitas yang formal karena mereka merasa hal tersebut hanya merupakan birokrasi yang berbelit-belit (Birokrasi Kompleks). Terdapat suatu keyakinan dalam diri meraka yaitu jika ingin menyuarakan suara, cukup dengan beraksi dari diri sendiri dan orang-orang sekitar yang dekat. Sehingga komunitas underground lebih condong atau terlihat suatu wadah untuk kumpul atau nongkrong.
Mereka pun memilih untuk nongkrong di emperan toko pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan banyak dari mereka merasa berkumpul di siang hari terlihat lebih menarik perhatian, terlebih mereka sadar bahwa mereka merupakan kaum yang dikesampingkan oleh masyarakat dan dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan.
Persamaan keyakinan baik berupa hobi, gaya hidup, paham, dsb. dalam diri mereka lah yang membuat persaudaraan mereka lebih erat karena merasa sama rasa, rata dan tanpa perbedaan, terlebih terdorong dari pribadi sendiri yang secara sadar untuk masuk ke dalam komunitas tersebut tanpa paksaan.
Setelah masuk ke dalam komunitas, secara sadar maupun tidak, biasanya individu tersebut akan mengikuti pola life style dari komunitas tersebut. Hal inilah yang mungkin diresahkan masyarakat. Ketika seseorang masuk ke dalam komunitas yang kotor atau negatif.
Tetapi dalam komunitas yang negatif sekalipun tetap ada sisi positif yang timbul, walaupun kecil.
Secuil Sejarah Berdirinya Komunitas Underground di Indonesia
Tak ada catatan pasti sejak kapan komunitas underground mulai berdiri, namun ada yang menyebutkan komunitas otomotif (Motor dan Mobil) yang menjadi perintis dari komunitas undergound. Lalu merembet ke dalam banyak aspek tidak hanya sebatas hobi.
Tahun 90an Skinhead masuk dari Inggris bersamaan dengan Ska dan berkembang pesat hingga tahun 1999. Pada tahun inilah merupakan tahun keemasan bagi para Ska mania dimana di Indonesia terjadi demam Ska, yakni Ska menjadi suatu trend di kalangan remaja baik musik maupun gaya mereka menjadi suatu kiblat yang wajib dicontoh.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh major label (label rekaman yang dilindungi hak cipta-red) yang mengeksploitasi secara besar-besaran musik Ska. Namun dampak dari eksploitasi tersebut harus dibayar mahal oleh komunitas Ska. Ketika memasuki tahun 2000, golongan mereka benar-benar hancur. Banyak pendukung Ska yang berpindah haluan seperti Ska German dan Ska Inggris.
Eksploitasi yang berlebih dari major label yang membuat banyak band Ska suntikan atau lazim dikenal hanya band yang ingin tenar saja tanpa mengetahui apa idiologi ska itu sendiri, hal itu membuat golongan Ska fanatik merasa muak dan mulai pergi meninggalkan Ska dan beralih menjadi Skinhead, Punk, atau Skoinkcore (gabungan antara ska, punk oi, dan core) yang merupakan satu haluan dengan Ska.
Ketika masyarakat sudah jenuh dengan Ska, band-band suntikan tersebut satu persatu mulai hilang. Major label pun menganggap Ska sudah tidak produktif lagi dan mencampakkan Ska. Ska yang sudah ditinggalkan oleh kaum fanatik menjadi komunitas yang vakum.
Berbeda dengan Skinhead, Punk, Skoinkcore dan HC (Hardcore) mereka tetap eksis di indi label (Lebel rekaman yang membiayai sendiri produksi mereka dengan konsekwensi laba dan kerugian ditanggung sendiri) atau D.I.Y(Do It Your self, sebutan lain untuk indi label). Mereka menolak untuk dieksploitasi secara massal oleh major label. Dan memusuhi golongan mereka yang masuk ke jalur major label. Mungkin mereka takut terulang kembali tragedi tahun 2000 dimana komunitas Ska benar-benar hancur.
Tahun 90an memang tahun keemasan berdirinya komunitas Underground musik, namun pada awal tahun 2000 mulai bermunculan komunitas yang berbeda seperti PETA (Pecinta Lingkungan), Vegen (Vegetarian) dan Staraight X.
Underground yang Selalu Termarjinalkan
Sebagai manusia sepertinya sudah menjadi suatu kodratnya, jika lebih mudah menilai semua hal dari sisi buruk dan selalu mengesampingkan sisi positif, serta pola pikir negatif yang selalu curiga akan segala sesuatu yang mereka tidak pernah lakukan. Hal inilah yang terjadi di masyarakat luas. Dimana masyarakat yang melihat sekumpulan orang yang nongkrong selalu berpikiran negatif tanpa melihat lebih jauh apa yang mereka lakukan.
Menurut saya imej negatif yang terbagun dalam masyarakat luas sedikit banyak menyebabkan komunitas underground memilih UR sebagai cara mereka melakukan pergerakan.
Pergerakan dalam lingkup mereka adalah menyebarluaskan pengaruh mereka pada masyarakat, perlu diingat tanpa paksaan. Artinya siapa saja boleh bergabung dengan mereka dengan catatan satu paham dan satu tujuan. Sebagai contoh Skinhead mempunyai tujuan untuk membangun sebuah komunitas tempat berbagi, berkumpul, bercanda selalu, ceria bersama. Kemudian PETA yang menginginkan bumi tetap bersih. Lalu komunitas Punk Street dan Punk Leftis mencita-citakan agar Indonesia tetap damai, tak ada aksi terror, dan menentang sengala bentuk yang berbau Rasis.
Betapa ironis karena sebagian besar komunitas underground seperti Skinhead, Punk ‘n Skin, Punk dsb. dengan lantang menyuarakan satu bumi tanpa perbedaan, justru merekalah yang dianggap berbeda oleh masyarakat, artinya masyarakat merasiskan komunitas yang anti rasis. Hanya karena pakaian mereka yang urakan.
Dualisme Komunitas Underground
Terdapat sesuatu yang menarik dalam komunitas-komunitas underground yakni dualisme yang ada di dalam diri mereka. Di satu sisi mereka merupakan orang-orang yang berdandan urakan, namun hal tersebut merupakan suatu bentuk dari pengekspresian diri terhadap anti kemapanan serta sebagai identitas diri komunitas mereka, seperti Skinhead yang pada awalnya merupakan komunitas Buruh, sehingga sampai sekarang Skinhead identik dengan bir, sepakbola, serta sepatu boot.
Suatu hal yang disayangkan memang, karena mereka menyerap secara mentah kebudayaan Skinhead yang negatif seperti meminum bir yang merupakan suatu hal yang tabu untuk masyarakat Timur tapi merupakan hal yang lumrah untuk masyarakat Eropa. Padahal mereka mempunyai daya kreatifitas yang tinggi, seperti menyuarakan kekecewaan mereka lewat pamflet, buletin, gambar atau lagu yang bertema sosial.
Walaupun lagu, pamflet atau gambar mereka bertema sosial (biasanya tentang pemerintah yang tidak peduli rakyat kecil) mereka dapat meraciknya dengan sesuatu hal yang membuat kekecewaan tersebut menjadi suatu optimisme. Namun sungguh sangat sayang jika kreatifitas tersebut harus ternodai dengan kebudayaan yang diyakini sebagai identitas diri mereka.
Seperti halnya Skinhead. Hardcore, Punk leftis (Punk dengan aliran kiri), serta Punk ‘n Skin, merupakan komunitas yang mempunyai budaya yang sama, yakni alkohol, hidup di jalanan serta anti kemapanan, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang pokok serta merupakan identitas diri mereka. Mereka sama-sama menyuarakan dan menginginkan satu bumi tanpa perbedaan. Hal ini yang membuat mereka terlihat sebagai golongan kiri atau komunis.
Dari komunitas underground yang terkesan kotor dan selalu hidup tanpa memikirkan norma-norma yang telah tertanam di tengah masyarakat. Tenyata terjadi suatu kenyataan yang unik, yakni mulai timbulnya komunitas-komunitas yang bersih, komunitas ini bermunculan karena merasa muak oleh budaya hidup masyarakat luas yang mereka anggap suatu hal yang salah.
PETA merupakan suatu komunitas yang mencita-citakan lingkungan yang bersih, kemudian Vege timbul karena merasa menjalani pola hidup sebagai Vegetarian merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur mereka, serta merupakan reaksi ekstrim dari kekesalan mereka terhadap fast food yang mereka percayai adalah setan pembantai unggas dalam skala besar. Sehingga terbentuk suatu doktrin tersendiri yakni anti terhadap fast food bahkan Mc Donals dianggap pembantai unggas terbesar. Lalu Staraight X merupakan komunitas bersih, yang terdiri dari orang-orang yang anti rokok, alkohol, drugs, dsb. walaupun dandananan mereka urakan dan terkesan sebagai komunitas yang buruk atau negatif.
Di kota Bogor, terjadi suatu hal yang menarik dimana komunitas-komunitas underground dari berbagai golongan dan faham ini bersatu untuk menghimpun dana yang kemudian dibagi-bagikan kepada para anak jalanan, dan diberi tema “Peduli Anak Jalanan”. Acara ini sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap orang-orang yang juga merasakan hidup di jalanan
Setelah mengetahui kebaikan serta keburukan dari komunitas underground yang mungkin merupakan komunitas-komunitas terbesar, apakah masih merupakan langkah yang bijaksana jika kita tetap memandang mereka sebagai sesuatu yang menakutkan, urakan, barbar, vandal bahkan anarkis?
Namun pemahaman Anarki dalam versi mereka berbeda dengan pemahaman dalam versi masyarakat sehingga mereka melabelkan diri mereka sebagai suatu yang anarki. Tapi arti dari anarki menurut mereka adalah anarki bukan barbar, anarki bukanlah vandal anarki adalah persamaan hak dan tanpa paksaan. Berbeda dengan pemahaman masyarakat luas yang menganggap anarki sebagai kerusuhan dan biang kekerasan.
Walaupun sebagian dari mereka masih memegang budaya yang negatif namun merupakan tugas kita untuk meluruskannya, contoh saja budaya mengkonsumsi alkohol jika kita dan pemerintah bisa menutup pabrik alkohol sehingga menghentikan peredaran alkohol di masyarakat bukankah budaya tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Tapi dapat diambil suatu kesimpulan yakni mereka bukanlah orang yang munafik setidaknya dalam konteks budaya mengkonsumsi alkohol. Karena mereka secara terang-terangan menegaskan bahwa mereka adalah alkoholic. Berbeda dengan kenyataan yang ada dimasyarakat, dimana para peminum mengkonsumsi alkohol lalu berkata pada masyarakat luas mereka adalah orang yang “bersih” bukankah hal tersebut merupakan sesuatu yang munafik?.

Underground Bukan Zionisme

Sebenarnya ini bukan sebuah hal yang baik untuk memulai hari Senin, ketika lagi lagi sebuah berita di koran terkenal Jakarta yaitu The Jakarta post membuat saya tertegun, terhenyak dan kemudian marah marah. Namun musti bagaimana lagi bereaksi, ketika kebodohan demi kebodohan terus saja dilancarkan untuk menyerang praktek kehidupan bertoleransi dan berdemokrasi.
Jika membaca terhadap pernyataan Farid Budi Fahri, yang konon seorang anggota senior FPI, serta seorang pakar musik Islam, yang menuduhkan bahwa musik underground beserta segenap variannya membawa misi zionisme, maka saya kemudian dengan tegas menolak dan balik mempertanyakan pengetahuan kesejarahan musik dan budaya dari saudara Fahri itu sendiri.
Underground memang lahir sebagai sebuah bentuk budaya tandingan. Namun kita harus memahami secara historis dan secara kontekstual akan budaya tandingan itu sendiri. Musik punk yang lahir di Inggris, disana memang harus terlahirkan sebagai sebuah bentuk tandingan terhadap sistem monarki yang menghegemoni sendi sendi kehidupan rakyat Inggris. Ketika ia menyebar ke seluruh dunia, ia tidak diserap secara mentah mentah, namun juga beradaptasi dengan kultur kultur lokal setempat. Di Amerika, ia menjelma menjadi hardcore, budaya tanding terhadap fasisme, rasialisme, diskriminasi serta kebijakan politik dan ekonomi bernama New World Order.
Demikian pula dengan musik Thrash Metal. Musik ini adalah sebuah bentuk kemarahan terhadap sistem sosial ala Barat, serta sebagai sebuah bentuk terapi psikologis terhadap segenap individu yang tidak akan pernah bisa fit didalam sistem sosial tersebut. Kita bisa menyimak hal tersebut dari lirik liriknya. Dan ini adalah fakta kesejarahan yang ada.
Black Sabbath lahir di sebuah kota penuh pabrik di Inggris yaitu Birmingham. Tentu saja lirik liriknya banyak terpengaruh kepada kemarahan kaum pekerja disana. Jika Ozzy Osbourne kemudian membawa bawa peti mati keatas panggung, maka itu adalah sebuah simbol kemarahan Black Sabbath terhadap sistem sosial pada saat itu.
METALLICA, MEGADETH, ANTHRAX, dll lahir di Amerika. Bisa kita lihat bahwa kultur dan sistem sosial disana sudah sangat dekaden, sehingga melahirkan sebuah tandingan bernama Thrash Metal. Lirik lirik yang ada tidak dengan serta merta menyerang, namun lebih kepada memberikan sebuah terapi psikologis terhadap segenap metalhead yang memang tidak akan pernah bisa fit dalam sistem sosial tersebut. Bahkan juga beberapa lagu dari dari kaum Thrash Metal Amerika itu sendiri sebenarnya sangat anti perang, sebagai contoh sebaiknya silakan disimak ‘Holy War’ dari MEGADETH.
Lalu jika kita lebih melihat kepada permasalahan pencitraan yang terjadi dalam musik Metal, itu sendiri sebenarnya adalah sebuah ironi. Karena Metal sejak awal ia memposisikan diri sebagai anak haram peradaban Barat. Tengkorak, monster, binatang liar, serta segenap imaji rusak yang dibangun oleh kaum metalhead yang bisa kita lihat dalam citra IRON MAIDEN,METALLICASEPULTURA dll itu adalah sebuah cermin rusak dari peradaban Barat itu sendiri.
Lalu jika dituduhkan bahwa Metal membawa pesan pesan bersifat Satanic, maka sebaiknya saudara Fahri Budi yang konon seorang pakar musik ini lebih menilik dari kesejarahan atribut Metal dan juga kesejarahan penyebaran musik Metal. Simbol tiga jari dalam musik Metal dipopulerkan oleh Ronnie James Dio, seorang musisi metal era awal. Simbol itu dalam budaya orang Italia dan orang Latin adalah sebuah cara kuno untuk mengusir setan dan roh roh halus. Singkat kata, simbol itu adalah simbol tolak bala. Ia kemudian menjadi simbol dalam musik Metal sebagai sebuah bentuk citra ironis terhadap sistem sosial itu sendiri.
Lalu jika menilik dari varian yang dibangun oleh musik Metal hingga ia disebut Satanisme, maka kita harus menilik kepada sejarah penyebaran musik Metal di Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dll dan juga kepada konteks kultural dalam kehidupan Skandinavia itu sendiri. Swedia dan Norwegia adalah negara yang menjadi kampung halaman nobel perdamaian. Negara negara ini juga seringkali menjadi cermin keberhasilan budaya dan peradaban Barat.
Namun ironisnya, disaat yang bersamaan diskriminasi juga terjadi dengan sangat keras disini. Diskriminasi ini terjadi dalam sebuah sistem sosial yang dikeluarkan oleh kebijakan kebijakan ala ajaran Nasrani. Disinilah musik Metal menemukan bentuk tandingannya, sehingga memunculkan varian bernama Death Metal, Black Metal dan Gothic Metal. Mereka memadu padankan musik Metal dengan budaya tradisional Skandinavia yaitu Viking sebagai tandingan terhadap diskriminasi sosial tersebut.
Dan jika kita melihat penghancuran simbol simbol religius Nasrani dalam musik metal tersebut, maka itu adalah sebuah bentuk performance yang merepresentasikan terhadap diskriminasi yang dilakukan melalui kebijakan kebijakan ala Nasrani disana.
Saya sendiri menolak dengan keras jika kemudian diisukan bahwa musik musik underground membawa pesan pesan Zionisme dan kemudian semua orang menyukainya tanpa menyadarinya. Sebagai sebuah fakta, di Indonesia sendiri banyak kaum underground, entah itu punk, hardcore ataupun metal yang menolak terhadap Zionisme.
Bahkan dalam dokumenter Global Metal yang disampaikan oleh Sam Dunn, Ombat personil band TENGKORAK sendiri menyatakan bahwa ia anti Zionisme. Lagipula, contoh yang disampaikan oleh saudara Fahri yang seorang anggota senior FPI ini adalah lagu lagu dari John Lennon, yang notabene adalah seorang hippies dan bukan seorang pencetus atau pengikut gerakan underground. Sehingga hipotesa yang dilakukannya serasa tidak masuk akal dan jauh panggang dari api.
Lalu apa maksud yang disampaikan FPI? Jika saya mencoba menyimak, maka hal itu ada pada kalimat dimana musik underground menjauhkan anak muda dari nilai nilai keislaman.
Saya memberi contoh Kimung, eks personil band metalcore BURGERKILL. Ia adalah seorang pemeluk islam dan juga seorang metalhead. Saya menyimaknya melalui beberapa tulisannya. Semasa kecil dan remaja ia memahami banyak ajaran Islam, dan kemudian selera musik metalnya mengajarkan sikap anti fasis dan anti diskriminasi.
Titik potong terhadap kedua hal tersebut adalah saat ia menterjemahkan sendiri keyakinannya dalam sebuah sikap yang anti terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk religi dan cenderung toleran terhadap segenap perbedaan yang ada. Apakah disini underground menjauhkannya dari ajaran Islam … bisa saya jawab tidak ! Lagipula contoh mengenai Kimung bukan sebuah hal baru di Indonesia, karena saya juga mengenal banyak sosok underground yang disatu sisi juga masih meyakini ajaran agamanya.
Bagi saya sebuah produk budaya, apapun itu bentuknya akan selalu hidup dalam segenap hati para pengikutnya. Katakanlah marawis, kasidah, dll yang merupakan produk budaya Islam, apakah sekarang ia mati dan dilupakan jaman. Tidak, karena masih banyak orang yang juga melestarikan produk budaya ini. Sehingga sekalipun jaman telah berubah sedemikian drastis, dan satu bentuk budaya telah berganti budaya baru, namun tetap ada kaum kaum yang akan melestarikan produk produk budaya lama tersebut. Dan atas dasar inilah, maka saya lihat tendensi FPI dalam statement mereka di The Jakarta post adalah sebuah bentuk sikap insecure semata. Insekuritas yang jangan jangan dimasa depan bisa dipraktekkan dengan cara cara kekerasan dan fasisme. Gebuk, bacok dan sikat semua yang berbeda !
Indonesia bukan negara Islam sekalipun pemeluk agama terbanyak adalah Islam. Namun sekalipun suatu saat Indonesia menjelma menjadi negara teokrasi Islam dan demokrasi ditindas dengan fasisme religius, saya tetap meyakini bahwa musik underground mulai dari punk, hardcore, metal, dll akan tetap hidup di hati dan sanubari mereka yang mengimaninya. Ambil contoh saja Acrassicauda, band heavy metal asal Irak. Sekalipun kepala mereka diburu oleh kaum fundamentalis Islam baik dari Sunni maupun Syiah, namun selamanya mereka tetap menjadi seorang metalhead asal Baghdad. Seseorang tidak akan pernah bisa memaksakan nilai nilai tertentu untuk diyakini oleh orang lain, karena mereka sendiri pun memiliki nilai nilai tertentu yang mereka yakini dan merupakan yang terbaik yang dibentuk dari kehidupan mereka sendiri.
Agama adalah sebuah jalan humanisme, namun jika ia dipaksakan untuk menindas nilai nilai yang diyakini oleh orang lain, maka apa bedanya agama dengan Zionisme … dan ini adalah sebuah pertanyaan balik saya untuk saudara Fahri Budi yang konon pakar musik dan anggota senior FPI ini.
Tulisan : Andreij Eijkov
Source : http://karonkeren.multiply.com/journal/item/614/

UNDERGROUND AND MOSHING

Moshing memang identik dengan musik-musik cadas atau keras seperti musik underground salah satunya. Mereka para penikmat musik cadas atau musik-musik underground mengekspresikan musik tersebut dengan sebuah tarian reflek seperti body slamming, headbanging, dan crowdsurfing yang dilancarkan secara agresif. Salah satu alasan yang dapat diterima atas adanya aksi mosing tersebut mungkin karena musik underground memang musik yang memiliki adrenalin tinggi.
Sejatinya Moshing adalah tarian khas untuk menikmati genre musik yang agresif, seperti hardcore punk, heavy metal, dan termasuk juga underground. Pada tahun 2000an, macam moshing makin banyak, seperti Thrashing, atau lebih yang ekstrem Wall Of Death, dan biasanya dilakukan di area depan panggung yang disebut sebagai moshpit atau simply pit. Dalam Wall Of Death, peserta diarahkan menjauh dari pusat kawasan berdiri atau bisa dikatakan membelah menjadi dua area oleh anggota band, kemudian setelah band memainkan awal lagu berikutnya, kedua belah pihak tegak lurus ke tahap sprint satu sama lain dan bertabrakan di tengah.
Berikut adalah macam-macam jenis moshing :
  • POGO DANCE
Pogo merupakan gerakan melompat ke atas dan ke bawah, sambil tetap di lokasi yang sama. Pogo dance sering dilakukan oleh pemain dan penonton pada pertunjukan punk rock. Pogo Mob adalah sebuta untuk sekelompok orang yang melakukan pogo dance pada gigs punk. Ini adalah cikal bakal dari “mosh pit”.
  • STAGEDIVING 
Stage diving adalah melompat dari panggung ke kerumunan crowd. Jika crowd padat biasanya orang yang melakukan stage diving akan tertahan oleh orang yang dibawahnya dan malakukan CROWD SURFING (bergerak diatas dari orang ke orang). Walaupun terlihat konfrontatif dan Ekstrim, stage diving sering dilakukan di setiap acara hardcore punk.
  • HEADBANGING
Gerakan menghentakkan kepala keatas dan kebawah yang mengikuti tempo dan ritme musik. Biasanya headbanging dilakukan pada musik rock dan heavy metal.
  • SKANKINGDANCE
Skanking terdiri dari gerakan kaki mengikuti irama musik dengan posisi badan membungkuk sambil mengayunkan siku kiri dan kanan. Skanking sering dipraktekkan dalam musik ska, ska punk, hardcore punk, reggae, grime, dub, dubstep dan musik lainnya.
  • CIRCLEPIT
Crowd yang bergerak berlarian membentuk lingkaran biasanya berlawanan arah jarum jam. Dapat juga dilakukan dengan gerakan Skank dance. Circle pit dimulai oleh beberapa orang sebagai tanggapan terhadap kecepatan musik dan irama. Gerakan ini konon di ambil dari semangat ritual suku indian dikala memanggil hujan.
  • HEADWALK/STEPAHEAD
Berlari dari panggung lalu melompat dan mencari pijakan untuk melangkah dari kepala satu ke kepala berikutnya.
  • WALLOFDEATH
Sebelum musik dimulai crowd terbagi menjadi 2 bagian, yaitu kanan dan kiri dengan batas jarak beberapa meter yang dikosongkan. Dan begitu musik mulai dimainkan, crowd yang terpisah akan langsung berlari dengan kecepatan yang tinggi ke tengah-tengah dan saling menyatu dengan crowd yang lainnya. Gerakan ini di artikan tentang simulasi bentrok antara demonstran dan aparat keamanan yang saling menyerang di tengah aksi demonstrasi.
  • HARDCORE DANCE:
    • 2-Step
      Yaitu gerakan menggerakan kaki kebelakang-kedepan secara menyilang dan mengayunkan tangan seirama dengan musik, seperti skanking dance.
    • BACKWARD KICKS / SPIN KICKS
      Gerakan menendang sambil berputar gerakan ini pun di kenal juga dengan sebutan KUNGFU DANCE.
    • PICKING UP CHANGE
      membungkukan badan dan gerakan tangan seperti mencabut rumput.
    • PUNCHING THE MIDGET
      Membungkukan badan seperti picking up change, namun gerakan tangannya seperti memukul kebawah secara bergantian
    • WINDMILL
      Mengayunkan kedua tangan secara bergantian kearah belakang.
    • AIR PUNCHS dan POINTING FINGER
      Mengepalkan tangan keatas seperti memukul dan menunjuk biasanya pada saat sing a long.

UNDERGROUND VS IDEALISME

Kata “underground” pada periode tahun 1990-2004 sempat popular, dan jadi basis sayap kiri bagi kalangan musisi independen. Di Bandung basis kelompok musisi indie, kata underground diterjemahkan sebagai bawah tanah, dengan arti khusus kebebasan buat berkarya.
Kami menyebut underground sebagai spirit bermusiknya. Di Bandung underground nggak ada yang istilah paling hebat. Jadi, semua bersaing. Semua memiliki kubu dan massa masing-masing. Beda dengan di Jakarta, dulu ada satu grup yang menjadi pimpinan underground – Salah satu penyiar Radio MGT FM Bandung -
Karena kata underground sering diartikan salah, maka bagi sebagian musisi dan masyarakat awam, kata underground diartikan sebagai band-band pembawa lagu-lagu keras. Banyak band-band yang sekarang bernaung di major label, background aslinya adalah band indie juga. Untuk sebagian band indie tidak masalah bertransformasi menjadi sebuah band berstatus major label dan khawatir kehilangan penggemar fanatik mereka ketika mereka masih berstatus band indie, pencapaian sebuah band indie yang bertransformasi menjadi major label adalah lebih merupakan sebuah titik kesuksesan dalam karir musik mereka, karena apabila berbicara major label, maka secara tidak langsung akan berbicara mengenai “rezeki”, dimana sebuah band yang berstatus major label mempunyai kesempatan dan peluang yang lebih untuk dikenal dan “menjual” musik mereka kepada khalayak umum, tapi ini  bukan berarti indie label tidak menjanjikan sebuah masa depan yang bagus.
Aliran musik dalam “underground” bisa sangat beragam, load voice, midlle voice sampai musik yang “kalem” pun dapat dikatakan sebagai underground, yang penting adalah semangat dalam menyuarakan idealisme musik mereka yang tidak boleh dilupakan. Karena idealisme musik ini lah yang akan memberikan warna-warna tersendiri bagi band-band indie tersebut.
Kita dapat ambil contoh, ketika kita mendengarkan beberapa buah lagu yang terdengar mempunyai aliran yang sama seperti : you know you are right oleh Nirvana, enter sandman oleh metallica dan freak on the leash oleh Korn. Dasarnya kita tahu bahwa ke tiga lagu tersebut sama-sama terdengar load voice, sama-sama dimainkan dengan peralatan musik yang tidak jauh beda jenisnya, tapi kalau kita amati lebih dalam pasti ada banyak perbedaan yang mencolok dari ke tiga nya, apalagi kalau bukan idealisme dari masing-masing musik yang mereka bawakan. Hal ini juga lah yang dapat membedakan jenis musik dan aliran apa yang mereka mainkan. Begitu pula dengan undergound, klo selalu di deskripsikan dengan musik yang keras, tentunya itu salah besar.
Tidak dapat dipungkiri memang kata “underground” lebih dekat dengan jenis musik metal. Jenis musik ini memang jauh dari incaran perusahaan rekaman besar yang biasa disebut major label. Bahkan ada pendapat agak seperti berikut;
Kalau band indie masuk major label, pasti konsep bermusiknya jadi beda, karena harus disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat beridealis ria lagi
Berbicara mengenai idealisme, sebagian besar band-band indie mengusungnya baik dalam karya lagu, pementasan bahkan ada yang membawa idealisme tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
Berbagai macam jenis idealisme yang di usung band-band indie tersebut, diantaranya adalah : Idealis terhadap isu anti kemapanan, Idealis terhadap isu anti major label, Idealis terhadap isu sosial, politik dan ekonomi bahkan ada yang lebih extrem yaitu Idealis dengan atheisme atau tidak percaya terhadap adanya Tuhan
Banyak band-band indie yang sejak awal sudah idealis salah satunya “alergi” sama major label, dan tak mau menawarkan lagu-lagu karyanya. Padahal banyak contoh menarik tentang band-band indie yang masuk major label, seperti Netral, Pas, Jun Fan Gung Foo dan Sucker Head.
Kemudian dalam keluarga underground alias independen itu, ada jenis musik yang beragam seperti : industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya

Bandung Masuk 5 Besar Dunia Komunitas Musik Underground

Grup musik beraliran underground,
Beside, yang menggelar konser launching albumnya Sabtu lalu (9/2/2008) di AACC, merupakan satu dari
sekitar 200 grup musik underground di Kota bandung.
Besarnya jumlah itu menjadikan Bandung
masuk jajaran lima besar komunitas
underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris
dan Belanda. Demikian disampaikan pengamat musik underground, Reggi Kayong
Munggaran, saat dihubungi detikbandung, Senin (11/2/2008). "Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan orang luar negeri tentang subkultur di Bandung.
Ternyata Bandung memiliki animo yang cukup besar terhadap musik underground,
hingga menempati posisi ke lima
komunitas terbesar undrground di dunia," tutur Reggi.



Menurut Reggi, besarnya animo
masyarakat, anak muda khususnya, terhadap musik underground merupakan
kecenderungan yang aneh. Begitupun menurut negara-negara lain penganut
subkultur yang sama. Musik underground sendiri, lanjut reggi, merupakan budaya
cangkokan. Dimana dalam proses pencariannya membentuk kultur memberdayakan diri
sendiri dan komunitas. Berangkat dari pemikiran itulah, para pelaku musik
underground memiliki etos kerja ''''Do it Your Self". Karena musik
underground merupakan musik subkultur bukan musik mainstream, dimana tidak
semua orang bisa menikmati, tidak semua orang bisa melihat. Sehingga untuk
tetap menjaga eksistensi musik ini harus dilakukan sendiri. "Grup
underground membuat konser sendiri, show sendiri, kecenderungannya lebih
eksklusif karena kapitalisme sudah mengakomodasi musik itu sendiri. Kalau musik
seperti ini siapa yang mau mendengar, studio mana yang mau membuat rekaman.
Kecuali oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap musik underground," jelas Reggi.
Reggi mengatakan, dari sekian banyaknya grup musik underground di kota
Bandung, sudah banyak yang
melebarkan sayap ke luar negeri, seperti Eropa. Hal itu bisa terjadi ketika ada
orang asing yang tertarik melihat
subkultur di kota Bandung,
sehingga mereka pun melakukan penggalangan dana untuk membawa musik underground
Bandung bermain di dunia
internasional. Menyinggung mengenai pandangan masyarakat tentang musik
underground yang seringkali diidentikkan dengan kekerasan Reggi menuturkan,
para pelaku musik underground pasrah tapi tidak cenderung apatis. Untuk
mencairkan opini masyarakat, mereka seringkali mengadakan kampanye anti
kekerasan. "Ke depannya, kami akan melakukan kampanye anti HIV AIDS dan
anti narkoba,"

Jenis Aliran(genre) Musik Underground

Ini Sebagian Dari Aliran(genre) Musik Underdround
-Black Metal
-Death metal
-Grindcore
-Screamo
-Punk Rock
-Hardcore
-Punk
-Metalcore
-Gothic Metal

Band-band Underground Yang Berpengaruh Di Indonesia

Inilah sebagian band-band Underground yang berpengaruh Di Indonesia
-Beside
-Betrayer
-Burgerkill
-Deadsquad
-Death Vomit
-Devoured
-Edane
-Endang Soekamti
-Funeral Inception
-Koil
-Metalik Kelinik
-Marjinal
-Pas Band
-Purgatory
-Siksa Kubur
-Sucker Head
-Superman Is Dead

Rabu, 07 Maret 2012

Nim : 1112300098
Nama Lengkap : Yosua Matondang
Tempa Lahir : Tangerang
Tanggal Lahir : 02-November-1992
Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki (tidak boleh di gambar)
Hobby : Bermusik
Pendidikan : Mahasiswa Univ.BudiLuhur

 

Amazon Instrument

Sample Text