Social Icons

Minggu, 11 Maret 2012

Ketika Ratusan Undergrounders Guncang Taman Budaya Kolaborasi Musik Cadas, Tampilkan Budaya Lokal

Suasana halaman Taman Budaya Minggu (9/8), mendadak di dominasi warna hitam. Ratusan undergrounders (sebutan bagi pecinta musik underground) memenuhi halaman Taman Budaya. Tampil dengan dandanan hitam kelam, anak-anak muda ini terlihat garang.

Di dalam gedung, suara distorsi gitar dan iringan gebukan drum yang menghentak tak kalah sangar terdengar meraung dari kejauhan. Sementara di bagian depan gedung, ratusan remaja, pria dan wanita tampak antre untuk masuk ke dalam ruangan.

Alasannya jelas. Mereka tak cuma ingin menyaksikan penampilan band-band underground lokal yang tampil, melainkan juga ingin menonton aksi panggung 2 band underground papan atas Tanah Air, yakni Siksa Kubur dan Morbiddys.

Hingar bingar musik bawah tanah ini memang sudah terasa sejak Sabtu (8/8) lalu. Pasalnya, acara bertajuk Art Exhibition and Samarinda Death Festival ini menampilkan sejumlah aliran musik underground. Sebut saja seperti hard core, metal core, metal, grind core, black metal dan dead metal.

Saat 2 band yang menjadi guest star acara ini tampil, ratusan undergrounders mulai memadati bibir panggung. Musik yang dibawakan kedua band itu, tak hanya membuat mereka melakukan head banger (joget ala underground dengan gerakan memutar-mutarkan kepala sambil menunduk mengibaskan rambut) Tapi juga melakukan pogo/slam dance (gerak badan dengan saling mengadu badan membenturkan tubuh untuk menikmati irama musik) hingga moshing/stage diving (melompat dari panggung dan para penonton lain harus menangkapnya)

Maklum, cara seperti ini merupakan bagian dari cara undergrounders mengapresiasi band idola mereka saat tampil di atas pentas.

Yang menarik, di sela pertunjukkan band-band cadas itu, anak-anak muda ini juga menampilkan budaya lokal. Kerajinan tangan warga Sungai Bawang, Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar) dipamerkan di sepanjang pintu masuk acara.

Beberapa kerajinan seperti taplak meja sudut, gendongan bayi, taplak meja dan sarung bantal, tas, hingga anjat. Kesemuanya terbuat dari manik-manik. Ukurannya pun bervariasi. Tak cuma itu, sebanyak 35 foto dari fotografer independen Kota Tepian juga turut ditampilkan. Tema yang diangkat bermacam-macam. Mulai dari masalah sosial, budaya Dayak, hingga keindahan alam Kaltim.

Bagi Supriadi, ketua panitia Art Exhibition and Samarinda Death Festival, kolaborasi antara musik cadas ala underground dan budaya lokal dalam satu acara dimaksudkan untuk mengajak para remaja Kota Tepian membudidayakan khasanah budaya sendiri. Pasalnya, arus globalisasi yang semakin deras membuat sebagian besar gnerasi muda melupakan nilai-nilai budaya lokal. “Tapi ini juga sekaligus cara kami melawan segala bentuk globalisasi. Coba lihat, pameran foto seperti ini saja misalnya. Biasanya kan cuma di tempat-tempat mewah. Seperti mal dan hotel. Kalau teman-teman dari komunitas punk, underground dan lainnya, pasti ogah datang ke tempat begituan,” katanya.

Selain itu, Riski (20), salah seorang undergrounders mengatakan, acara seperti ini memang baru pertama kali di Samarinda. Meski menggunakan label sponsor, Riski mengatakan cukup mengapresiasi usaha rekan-rekannya sesama pencinta musik bawah tanah. “Biar kami suka musik underground yang berlatar belakang budaya Barat, tapi kami juga nggak mau melupakan kebudayaan sendiri. Toh budaya kita lebih kaya dari negara lain,” katanya.

Sementara undergrounders lainnya, Thirda Helga (18) mengatakan parade band underground dan pameran budaya ini cukup jarang dilaksanakan Maklum, selain lantaran musik yang dibawakan cukup memekakkan telinga, image negatif yang melekat pada komunitas ini juga menimbulkan preseden buruk di mata sebagian besar warga. Karena hal itu, beberapa band underground Samarinda dikatakannya terpaksa gigit jari lantaran kerap dilarang pentas disegala panggung acara.

"Kami sering dilarang tampil dalam acara-acara band. Mungkin karena aliran musik kami yang keras dan penampilan kami yang berbeda,” ujar gadis pencinta musik underground ini.

Komunitas underground Samarinda memang sempat menggeliat dan mencuat di awal 2000 hingga 2002. Di tahun itu, penampilan band-band underground Kota Tepian dapat dijumpai di setiap parade yang digelar. Lambat laun, komunitas underground yang didominasi kalangan remaja ini meredup seiring derasnya arus perubahan genre musik.

Meski demikian, sebagian besar pecinta musik underground mengaku menggemari musik cadas ini bukan lantaran trend semata. Selain mendapatkan kebebasan berekspresi, prinsip independensi dan idealisme dalam bermusik dalam dicurahkan lewat lirik-lirik yang mereka bawakan.

Bagi yang lain, musik bawah tanah seperti ini merupakan wujud perlawanan mereka terhadap industri musik Indonesia saat ini. Menurut mereka, industri sekarang ini lebih mengutamakan bisnis, sehingga dikemas secara komersil dan harus mengikuti kemauan produser.  Sehingga bagi mereka, hal ini membuat para musisi tidak bebas. (*/fr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Amazon Instrument

Sample Text